Resensi Buku Ketika Mas Gagah Pergi…dan Kembali


Judul               : Ketika Mas Gagah Pergi…dan Kembali

Penulis            : Helvy Tiana Rosa

Penerbit          : ASMA NADIA Publishing House

Tebal Buku     : 245 halaman

Tahun Terbit   : 2011
Novel yang bernuansa islami ini berisikan beberapa cerpen yang sangat menarik. Apalagi bagi remaja masa kini yang banyak terjebak oleh kenikmatan dunia. Oleh sebab itu, para remaja sangat wajib membaca buku ini. Banyak nilai-nilai berharga yang terkandung dalam cerpen-cerpen di novel ini.

 

Ketika Mas Gagah Pergi

Gita adalah seorang siswi SMA di salah satu SMA di Jakarta. Ia sangat bangga memiliki seorang kakak yang baik, cerdas, periang dan tampan yang masih kuliah semester akhir di Fakultas Teknik Sipil Universitas Indonesia. Ia panggil dengan sebutan Mas Gagah. Namun suatu hari Mas Gagah berubah. Berubah menjadi seorang yang fanatik dengan dunia agama. Bahkan ia juga membuat para preman di seekitar rumahnya menjadi insyaf.

Tika, teman Gita menjelaskan kepada Gita tentang apa yang terjadi pada Mas Gagah. Mas Gagah itu mendapat hidayah. Awalnya, Gita tidak suka dengan perubahan yang dialami Mas Gagah, tetapi Gita terus mempelajari tentang dunia agama islam yang dikerjakan oleh Mas Gagah. Gita pun akhirnya mendapat hidayah, ia kini berjilbab dan lebih santun kepada orang-orang.

Ketika Gita ingin menunjukan pada Mas Gagah kalau ia sedah berjilbab, Mas Gagah tidak kunjung datang dari tempat acara keislamannya di Bogor.

Papa, mama dan Gita kaget ketika mendapat kabar bahwa Mas Gagah kritis berada di salah satu rumah sakit di Bogor. Terjadi kerusuhan di sebuah tempat ibadah dan Mas Gagah mencoba menenangkan masa, tetapi usaha Mas Gagah gagal sampai ia harus dilarikan ke rumah sakit karena luka di sekujur tubuhnya.

Mama, papa, Gita dan teman-teman Gita terus menemani Mas Gagah di rumah sakit. Keadaan Mas Gagah sangat memprihatinkan. Berkali-kali Gita mengajak Mas Gagah bicara. Namun, Mas Gagah hanya tersenyum, berusaha berbicara tapi tak bisa.

“Laa…ilaaja…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul..Al..lah,” suara Mas Gagah pelan. Selaat jalan Mas Gagah. Mas Gagah telah kembali kepada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya. Isak tangis mewarnai kepergian Mas Gagah.

Satu tahun berlalu. Gita sudah berkuliah di UI. Ketika ia pulang kuliah, ia kerap kali melihat seorang lelaki berkemeja kotak-kotak yang berceramah di bus-bus atau di kereta api tanpa meminta bayaran sedikitpun. Secara tidak sengaja Gita mengetahui nama lelaki itu Abdullah. Suatu hari, terjadi tawuran anak SMA dan anak-anak SMA tersebut memangsa lawannya di dalam bus yang saat itu sedang ditumpangi oleh Gita dan Abdullah. Ketika mencoba melakukan perlindungan untuk lawannya, Abdullah malah terbacok oleh pisau yang digunakan anak SMA tersebut. Dengan cepat, Gita menolong lelaki tesebut dan membawanya ke rumah sakit.

Beberapa hari berlalu. Ketika Gita ingin menjenguk lelaki itu, ternyata lelaki itu sudah tidak ada di rumah sakit. Tak terasa waktu cepat berlalu. Kini Gita sudah berhasil lulus dari UI. Ketika Gita ingin melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, Gita diminta petugas di perusahaan tersebut untuk langsung interview dengan direktur utama. Gita kaget. Gita pun menemui Pak Direktur.

Ketika Gita bertemu dengan Pak Direktur. Gita kaget, ternyata Pak Direktur itu adalah Ir. Yudhistira Arifin, Msc. Lelaki berkemeja kotak-kotak yang pernah Gita tolong. Sosok Mas Gagahpun kembali dalam kehidupan Gita.

Selamanya Cinta

Dini yang berperilaku baik dan santun tinggal brsama Pamannya yaitu Paman Hadi. Dini memiliki kakak perempuan yang sudah menikah yaitu Kak Dita. Rumah tangga yang dijalani kakanya tersebut tidak berjalan baik karena keadaan ekonomi yang susah. Belum lagi Suami kak Dita, Bang Tio yang berwatak keras. Sepasang suami tersebut bingung memikirkan kehidupan mereka bersama anaknya yang masih bayi.

Hampir tiap malam Dita dan Bang Tio bertengkar soal ibu. Ibu Dita yang sudah berumur 76 tahun, yang pikun dan menyusahkan kata Dita. Dita selalu mengeluh karena pekerjaannya sebagai buruh cuci pakaian dansetrika harus ditambah dengan merawat tiga orang anak yang masih kecil dan jompo.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan Dini, Bang Tio membawa ibu ke panti jompo. Dini kesal karena Dini tak diberitahu. Namun, ternyata Kak Dita menyentak dan berkata, “Aku anak kandungnya, sudah tahu apa yang terbaik bagi ibu. Dan sebagai anak angkat, kau tak perlu mengusik ketenangan ibu.

Dini sangat merasa sedih, ia pun pergi ke panti jompo dan bertanya pada ibu apakah benar ia anak angkat. Ternyata benar, Dini memang anak angkat.

Ketika hari ke empat Dini mengunjungi ibu, ternyata ibu tidak ada di panti jompo tersebut. Ternyata Bang Tio sudah memindahkan ibu ke panti jompo lain yang sama sekali tidak diketahui oleh Dini.

Dini terus mecari ibu. Dan akhirnya Dini menemukan ibu di salah satu panti jompo di Jakarta. Dini terus bercerita tentang kehidupannya kepada ibu. Ibu Dini tidak pernah membeda-bedakan anatara anak angkat atau bukan.

Waktu terus berlalu. Ketika Dini lulus SMA, Dini tidak diperbolehkan tinggal di tempat Paman Hadi. Tanpa diketahui siapapun, Dini mencari informasi tentang tenaga pekerjaan di Panti Jompo tempat ibnya dirawat. Ternyata, ada lowongan untuk memasak dan bantu-bantu di dapur. Dini sangat senang. Dengan ia bekerja di Panti Jompo tempat ibunya dirawat. Dini juga bisa merawat dan menjaga ibunya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Jalinan Kasih dari Gerbong Kereta Api

Sungguh, setiap kali Nia melewati stasiun kereta api Senen, hatinya sangat haru biru. Ngilu. Yang disaksikan hanya pemukiman kumuh dari kardus dan triplek yang berada di sisi rel. Anak-anak dengan baju dekil tanpa alas kaki yang bermain di gerbong-gerbong kosong yang tidak terpakai lagi.

Ternyata gerbong-gerbong tersebut kerap dipakai sebagai tempat bermain anak-anak, tempat berkumpul para preman, juga tempat para pelacur melakukan aksinya. Naudzubillah.

Nia dan kawan-kawannya sepakat untuk membuat tempat belajar bagi anak-anak jalanan yang tidak bisa mendapat pendidikan yang layak. Akhirnya Nia dan kawan-kawan berhasil menjadi pengajar di sebuah gerbong itu. Anak-anak jalanan sekitarpun senang dan antusias mengikuti pembelajaran setiap hari.

Suatu hari, orang tua murid-murid Nia marah karena katanya, Nia dan kawan-kawan menggunakan tempat itu tanpa izin pihak yang berwajib. Tapi niat Nia sungguh mulia, mengajar anak-anak jalanan dan menggunakan gerbong tersebut agar tidak dipakai sembarangan oleh oknum-oknum tertentu. Nia dan kawan-kawanpun mengalah dan tidak lagi mengajar disana. Gerbong itu kembali digunakan warga sekitar untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.

Beberapa hari berlalu. Pemukiman di pinggir rel kereta itu dibongkar oleh petugas. Warga sekitar panik dan berlarian kesana kemari. Tak sengaja ketika itu Nia sedang melintas di daerah tersebut. Nia juga ikut panik dan memikirkan nasib anak-anak itu. Nia pun member kartu nama kepada salah satu muridnya dan berharap ketika murid-muridnya tidak  lagi tinggal disitu, Nia akan dapat kabar melalui surat.

Diary Adelia di Salsabila

Orang tua Adelia sangat kecewa dengan tingkah Adelia yang hanya bisa berhura-hura dan menghabiskan uang orang tuanya. Belum lagi ketika ia dinobatkan sebagai pemegang ranking 45 dari 48 siswa. Akhirnya Adelia dipindahkan dari SMA Persada ke sebuah Pondok Pesantren Salsabila di Bandung.

Adelia sangat benci dipindahkan ke pesantren. Bahkan, ia berjanji akan menjadi anak yang paling bandel di pesantren biar para ustad dan ustadzah muak dan mengeluarkannya. Hari-hari di pesantren sangat menyebalkan, pagi-pagi digebrak-gebrak suruh bangun. Kamar ditempati oleh tiga puluh orang. Heuhh, kesal L

Hal-hal aneh selalu Adelia lakukan.  Dari molor terus di pagi hari sampai ngebatalin puasa. Namun, para ustad dan ustadzah tetap sabar menanggapi dan menasehati Adelia.

Niat Adelia untuk menjadi nakal di pesantren kini kandas. Sebaliknya, ia mulai menyukai dunia pesantren dan menyukai aktivitas yang ia kerjakan di sana. Bahkan, kini Adelia sudah bisa menghafal satu juz al-qur’an. Sbhanallah.

Ketika libur lebaran tiba. Kedua orantua Adelia datang untuk menjemput Adelia. Adelia senang dan segera memeluk erat kedua orangtuanya. Sungguh indah hidup yang dialami Adelia.

Rumondang

Ketika Tia sedang membeli sapu tangan di Simpang empat Tanah Abang. Penjaga toko tersebut memandang Tia dari ujung jilbab sampai sepatu bodolnya. Mata itu menatap Tia aneh.

Tia melanjutkan jalannya menuju toko sepatu. Tiba-tiba saja aku merasa sepasang mata mengawasiku lekat-lekat. Sekitar lima puluh meter menuju toko sepatu, Tia tersentak ketika tiba-tiba saja satu suara memanggilnya dari arah toko sapu tangan.

“Tia’ kan?” kata perempuan itu dengan nada meninggi. “Tia kan? SD Budi Murni, Medan? Ya illahi, kau tak kenal aku?”

Akhirnya, perempuan itu pun menceritakan sesuatu kepada Tia, ia ternate adalah Rumondang, teman Tia ketika semasa SD.

Rumondang bercerita banyak tentang kehidupannya kepada Tia. Cerita tentang suaminya yang meninggal, bekerja merantau ke Jakarta, dan banyak lagi. Tia sangat terharu dan prihatin dengan cerita Rumondang. Ia pun membelikan sepasang sepatu untuk anak Rumondang.

Tia terkejut ketika para penjual di trotoar itu mengemasi barang-barangnya dengan tergesa-gesa. Para petugas ingin merazia para edagang dan mengusir para pedagang. Dengan tergesa-gesa Rumondang harus meninggalkan Tia dengan hati gelisah. Tia pun pergi pulang dengan perasaan cemas memikirkan apa yang akan Rumondang lakukan setelah ini. Mau kemana ia dan bagaimana kehidupannya kelak.

Rapsodi September

Ocha dan Rani adalah dua saudara perempuan yang kompak ini tidak ingin membiarkan adik laki-laki satu-satunya terjebak dalam kenikmatan dunia. Ketika Eron mengajak pacarnya ke rumah, kedua kakanya selalu saja menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan dunia islam dan budayanya. Sampai Eron merasa kesal karena pacarnya dijilbabin sama kedua kakaknya, bahkan sampai akhirnya meninggalkan Eron. Tini, Ocha yang pernah menjadi pacarnya dan diajak ke rumah, pasti diajak cerita-cerita soal agama sama kedua kakaknya tersebut.

Namun, ada yang berbeda dengan pacar Eron selanjutnya yang bernama Mia yang nyentrik dengan banyak kalung yang dipakai di lehernya. Ia anti sekali dengan persoalan dunia agama. Bahkan, kedua kakak Eron enggan untuk mengajak Mia untuk belajar agama.

Beberapa bulan berlalu. Ketika bula September tiba. Ada sesuatu yang terjadi dengan Mia. Mia kini lebih anggun dengan jilbab yang rapi di kepalanya. Eron bingung, karena selaa ini setahu Eron, kak Ocha dan kak Rani, Mia anti dengan hal yang berbau agama. Mia menjelaskan beberapa hal tentang agama kepada Eron. Beberap hari berlalu, Eronpun berubah sikapnya.Sikapnya menjadi lebih lembut kepada setiap orang, jadi ranjin mengaji dan pergi ke masjid. Ternyata bukan kata-kata Mia yang mempengaruhinya tetapi pemikirannya yang kini lebih mengerti dan memahami dunia agama islam.

Lelaki Berhati Cahaya

Ketika Amir pulang dari mushola An-Nur di dekat rumah Tomi. Amir naik bus menuju tempat kosnya di bilangan Ciliwung. Tumben bus tak seramai biasa. Aku menoleh dari tempat duduk. Tak jauh, dibelakangku beberapa gadis SMA cekikan seraya menutup separuh wajah mereka. Ketika samapi Cawang, seorang wanita hamil naik, namun bangku sudah terisi semua. Amir memberikan tempat duduknya kepada ibu hamil tersebut. Namun, ibu hamil tersebut menolah dengan nada kasar dan tidak sopan.

Tempat tujuan sampai, Amir segera turun dari bus. Tak lama terdengar suara.

“Copet! Copet! Copet!

Amir segera menoleh kea rah suara tersebut. Seorang lelaki menarik paksa tas seorang ibu tua dan berlari kencang meninggalkan ibu tua yang berteriak itu. Tanpa berpikir panjang kukejar lelaki tadi.

Nafasnya mulai tersengal-sengal. Teriakan “copet! Copet!” itu terdengar lagi. Amir terkejut, puluhan orang menudingnya dan menimpuki dengan batu. Amir pun berlari dan bersembunyi tanpa sepengetahuan siapapun. Ia memberanikan pulang ke rumah. Sampai di rumah, ibu memarahinya. Ibu menyalahkan semua yang terjadi dengan Amir karena Amir berteman dengan Tomi. Padahal, Amir sudah menjellaskan berkali-kali kepada ibu bahwa Tomi itu teman yang sangat baik.

Suatu hari ketika Amir pulang dari mushala kayu rapuh. Terdengar suara ibu berteriak “Tolong…Tolong..Tolong..”. Ibu itu mennjuk kea rah kali, ternyata putrinya terjatuh. Tanpa berpikir panjang, Amir segera lompat dan menolong anak tersebut. Setelah itu, Amir segera membawa anak itu ke Rumah Sakit.

Dengan perasaan cemas, Amir berjalan menuju masjid Al-Huda. Ketika di pertengahan jalan, Amir bertemu dengan seorang kakek yang kelaparan. Dengan belas kasih, Amir segera memberikan uang yang tinggal sedikit di kantongnya.

            Beberapa meter menuju masjid Al-Huda. Amir menabrak seoran laki-laki buta. Ia segera minta maaf dan memberinya uang. Amir berjalan lagi. Amir melihat Tomi yang sedang berbincang-bincang tentang Amir kepada seorang Pak Haji.

Amir itu seorang yang berhati cahaya. Tetapi matanya seolah membelalak, dengan alisnya yang terlalu tebal dan hampir menutupi kelopak mata. Hidung rucing membengkok ke bawah, mulut terlalu lebarditambah gigi jarang berwarna kecoklatan. Kemudian bibir hitam pecah-pecah dan wajah kasar seolah bersisik, serta rambut yang jarang. Ia bukan penjahat. Bukan orang yang kena kutuk. Dan Ia selalu berusaha mensyukuri nikmat yang Allah berikan. Fabiayyi alla-I rabbikuma tukadziban.

Diary Saliha

Ya allah, setelah setahun lau Bapak meninggal karena tabrak lari. Kini aku, Saliha yang harus menjaga ibu dan kedua adikku yang masih kecil itu. Sungguh tidak bisa dibayangkan, kemana kami akan berteduh jika tempat tinggal kami digusur oleh aparat. Aku tidak konsen belajar di sekolah, mungkin aku yang masih kelas satu SMA ini tidak akan bisa menyelesaikan sekolahku.

Keesokan harinya, kudengan hingar bingar di luar. Jeritan, makian, deru bulldozer dan zopel. Pak Jono, tetanggaku mengacungkan sertifikat tanah berstempel Pemda yang ada ditangannya. Namun seseorang yang mengaku dari Pemda itu mengatakan bahwa sertifikat itu palsu.

Aku berniat melaporkan hal itu ke KOMNAS HAM. Alhamdulillah ada penangguhan dan aku bersama warga lain masih bisa tinggal disini. Beberapa hari kemudian, ibu sakit dan aku harus membawanya ke rumah sakit.

Suatu hari, ketika jam dua dinihari aku terkejut oleh kobaran api yang besar disekitar rumahku. Ya allah, kebakaran! Aku bingung, ibu di rumah sakit, tidak yang bisa membantuku menjaga adik-adikku yang masih kecil. Hatiku tercabik-cabik melihat rumah yang telah berubah menjadi puing-puing. Dengan peluh bercucuran dan langkah gontai. Aku membawa kedua adik-adikku menuju rumah sakit tempat ibu di rawat. Malam yang dingin ini, aku berada di teras rumah sakit tersebut. Aku terus berdo’a semoga ada pertolongan dari saudara seiman dimanapun berada.

Titian Pelangi

Pada bulan ramadhan tahun ini. Pak Soleh, ayah Ita meninggal siang tadi. Sopir metro mini P11 jurusan Senen-Kemayoran yang ramah, jujur dan gemar menolong orang itu mendapat kecelakaan. Mobilnya tertabrak truk pengangkat pasir di jalan baru Kemayoran.       Bang Ical yang menemani Pak Soleh dirawat di rumah sakit.

Evi, teman akrab Ita sangat prihatin dengan kejadian yang menimpa Ita. Sering Evi mengunjungi Ita untuk menghibur hatinya. Di bulan puasa, musibah besar menimpa Ita. Belum lagi, kini Ibu Ita sakit keras. Ita menjadi tulang punggung keluarga dan harus menjaga adik-adiknya.

Ketika Ita ingin menjenguk Bang Ical. Dokter tidak memperbolehkan Ita mengetahui kabar Bang Ical dengan alasan pembayaran rumah sakit yang belum lunas. Sungguh, kejam dunia ini. Evi yang menemani Ita segera membayar pembayaran rumah sakit Bang ical. Dokterpun akhirnya memberi tahu kabar Bang Ical. Kabarnya sangat menyedihkan.

Beberapa hari kemudian. Bang Ical meniggal. Sungguh pahit semua yang dialami Ita. Evi prihatin. Di usia yang masih belia, Ita harus menjaga ibunya yang sakit-sakitan dan adik-adiknya yang masih kecil. Ita pun berjualan kolak, pacar cina dan kue kering pada sore hari di depan rumah untuk menghidupi keluarganya. Kadang, Evi menemani Ita berjualan.

Ketika di rumah. Evi sering bercerit tentang kemalangan Ita kepada keluarganya. Tapi yang antusias dengan cerita Evi hanya Mas Irvan saja. Bahkan ibu sibuk memikirkan pakaian untuk lebaran.

Berhari-hari berlalu. Terjadi kebakaran pada malam hari di sekitar rumah Ita.  Kondisi Ibu Ita kini menjadi kritis. Ibunya dirawat di rumah sakit. Evi cemas dengan keadaan Ita dan segera menuju tempat tinggal Ita ditemani Mas Irvan.

Akhirnya, Ita dan adik-adiknya tinggal bersama tantenya. Dan Ita menerima cucian orang nuat bantu ibunya di rumah sakit. Suatu hari, Ita sakit. Tantenya tidak mau membawanya ke rumah sakit karena alasan tak ada uang. Ita pun segera memapah Ita ke rumah sakit. Ternyata lever Ita kambuh. Tapi Ita tetap sabar menahan cobaan ini.

Suara takbir bersahut-sahutan. Ramadhan akanusai. Tetapi penderitaan Ita belum juga usai. Pada malam itu, Ibu Evi mengajak Evi dan kakak-kakaknya ke suatu tempat. Namun, Evi tak diperbolehkan untuk mengetahui kemana mereka akan pergi. Ternyata mereka berangkat menuju RSCM tempat Ibu Ita dirawat. Kemudian pergi ke tempat Tante Ita.

Pertanyaan Evi terjawab. Ternyata Ibu dan kakak-kakak mengajak Evi ke rmah Tante Ita lantaran ingin melamar Ita menjadi pendamping hidup Mas Irvan. Alhamdulillah Ita menerima Mas Irvan dan Ita pun menjadi kakak ipar Evi. Nikmat yang indah di hari yang berbahagia

Selagi Ada Kesempatan

Vidi, siswi MAN ini terpaksa masuk MAN karena ia tak berhasil masuk SMAN di rayonnya. Padahal, orangtuannya sangat ingin Vidi masuk MAN. Vidi kesal masuk MAN, mukanya selaku bertekuk-tekuk karena setiap sekolah mesti mengenakan jilbab. Akhirnya, Vidi hanya berjilbab ketika di sekolah saja. Ketika lewat kelar pintuu gerbang, ia langsung melepas jilbabnya.

Minggu akhir bulan Vidi sangat ceria, pergi bersama teman-temanya di Brastagi. Berfoto-foto, kenalan dengan beberapa cowok di sana. Tak terasa sudah jam tiga sore. Vidi dan teman-temannya tidak menemukan Butet. Tanpa sengaja,,ketika mencari Butet, Vidi menemukansapu tangan Butet dan mecari-cari tanda-tanda keberadaan Butet. Astagfirullahaladzim, Vidi berteriak keras menunjuk arah semak-semak, ia melihat Butet sudah tak bernyawa lagi dan berlumuran darah. Vidi histeris dan Rita pingsan.

Semenjak Butet meninggal, Vidi jadi pendiam. Ia ingin bertemuu dengan Fatimah, temannya yang aktivis ROHIS itu. Tapi Fatimah sudah beberapa hari sakit dan tidak masuk sekolah. Vidi pun menjenguk Fatimah dan sedikit berbincang-bincang dengan Fatimah.  Terasa ada keanehan. Tante Lubis segera menghampiri Fatimah. Innalillahi wa innailaihi raajiun. Fatimah meninggal. Vidi histeris dan butiran air matanya mengalir deras.

Semenjak kejadian yang menimpa Butet dan Fatimah. Vidi bertaubat. Selagi ada kesempatan,Vidi tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Vidi menjadi muslimah yang baik. Tidak besok, bulan depan atau tahun depan. Tetapi saat ini juga.


Leave a Reply