Dosen kok “exercise solving?” (bonus situs untuk active learning)


Zaman corona, dimana ketika membuat coffee Dalgona meraja lela hingga tangan serasa kebas karena mengaduk kopi hingga berbusa busa, telah mendobrak cara belajar siswa-siswi dan cara mengajar guru-guru di dunia. Sebenarnya tidak hanya mahasiswa bingung menghadapi cara belajar baru yang serba digital, dosen pun juga sejujurnya tidak kalah kewalahan juga mempersiapkan materi, memikirkan agar mereka tetap terlibat pembelajaran, mereka paham akan materi dan sebagainya. Saya pun masih ingat ketika awal pandemic melanda, saya tidak tahu bagaimana caranya mengoperasikan perangkat Zoom untuk mengajar. Bawaanya gugup, takut salah sharing materi, atau takut tidak terdengar, akibatnya selama mengajar saya deg-degan terus. Saya dulu pernah mencoba menggunakan perangkat tele conference Skype tapi terbatas usernya hanya sekitar 15 orang sedangkan mahasiswa yang saya ajar sekitar 38 untuk satu kelas. Dari situlah, saya mulai panik-panik sedap memikirkan perangkat apa yang pas buat mengajar secara online. Sedikit demi sedikit belajar bagaimana caranya setting presentasi, sharing materi menggunakan LMS, membuat quiz, penugasan, hingga akhirnya lama-lama bisa juga mengoperasikan perangkat-perangkat untuk kuliah online.

Beberapa catatan saat mengajar menggunakan tipe daring itu memang agak sulit mengukur keterlibatan mahasiswa terhadap materi. Pada awalnya semuanya off camera, jadi tidak tahu apakah mereka beneran “hadir saat kuliah” atau tidak. Alhasil selama kuliah online semasa pandemic saya lebih husnudzan saja kalau mereka menyimak toh nanti ada quiz jadi yang dapat mengetahui kalau mereka paham atau tidak.  Saat saya memberikan quiz di akhir materi, ternyata nilai mereka rata-rata bagus-bagus semua. Saya tetap husnudzan dengan pendirian saya kalau cara mengajar metode “ceramah secara daring” masih tergolong efektif.

Hingga suatu ketika saya (alhamdulillah) diberikan akses untuk mengukur kemampuan Problem Solving oleh promotor S3 saya dan ternyata hasilnya diluar fikri dan prediksi BMKG… JENG JENG JENG.. dari skala 1-5 kemampuan problem solving mereka di angka 2 dari skala 5. Angka 2 maksudnya gimana bro? Nah gini, semakin besar nilai menunjukan semakin baik kemampuan problem solving anak tersebut. Alamak kok hasilnya begini! padahal nilai tugas, quiz bagus-bagus kok bisa kecil bgt?? Angka 2 itu termasuk golongan rendah untuk ukuran mereka yang sebentar lagi akan lulus S1. Karena kebetulan saya mengajar angkatan tahun ke 4 dengan asumsi seharusnya ya sudah semakin baik kemampuanya, ternyata dari hasil tes tidak sesuai dengan bayangan saya. Ditambah lagi sebagai lulusan Teknik Industri dari capaian pembelajaran seharusnya mereka itu sudah bisa memecahkan masalah yang kompleks. Jadi ini siapa yang salah? Dosennya? Materinya? mahasiswanya? apa sebenarnya mereka pada mencontek saat mengerjakan tugas atau quiz?

Saya pun berdiskusi sekaligus konsultasi dengan promotor saya yang kebetulan pakar di bidang Engineering Education. Beliau berkata bahwa mayoritas pengajar teknik itu ketika dikelas mereka  lebih mengarah pada “exercise solving” dibandingkan “problem solving”. Apa ciri-ciri dari exercise solving itu? Exercise solving biasanya menggunakan permasalahan yang sama sehingga masalah tersebut menjadi tidak asing bagi siswa. Ibarat kata cuma ganti angka, ganti objek. Padahal dalam dunia nyata permasalahan bersifat novel (baru) dan memerlukan penggabungan dari beberapa pengetahuan. Jika siswa terbiasa untuk exercise solving di kelas, belum tentu hal tersebut mengartikan dia akan mengatasi permasalahan sebenarnya di dunia nyata. Menurut Jonassen dkk (2006) dalam artikelnya yang berjudul Everyday Problem Solving in Engineering: Lessons for Engineering Educators, perbedaan exercise solving dan problem solving dapat dilihat sebagai berikut:

Problem SolvingExercise Solving
memerlukan suatu proses untuk mendapatkan jawaban dari masalah yang belum di ketahui dengan beberapa keterbatasanmemerlukan proses untuk mendapatkan hanya satu jawaban
memiliki sifat keterbaruanmasalah terdefinsikan dengan jelas
tidak ada rumusan masalah yang explisitmasalah relatif sama sebelumnya
lebih dari satu pendekatanpada umumnya satu pendekatan
memerlukan algoritma untuk memecahkan masalahjawaban dari solusi hampir sama
penggabungan dari beberapa pengetahuankemampuan presentasi tidak diperlukan
kemampuan presentasi diperlukan 

Beliau pun berpendapat bahwa pembelajaran konvensional yang berpusat pada guru/dosen harus diubah menjadi lebih student center karena metode ini membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan problem solving terutama metode Problem Based Learning. Bagi yang ingin tahu metode PBL seperti apa sih boleh klik paper ini ya. Pada metode PBL, mereka akan belajar untuk memahami masalah, mencari solusi-solusi yang relevan dengan cara mereka sendiri, bertukar pikiran dengan teman sebaya terhadap solusi tersebut nah lambat lain mereka menjadi mandiri dan terbiasa mencari solusi. Selain itu kemampuan “exercise solving” itu tidak dapat di duplikasikan pada kehidupan nyata. Pernah denger gak istilah berikut, gw kok belajar makul ini nguap ya? bertahun tahun belajar kok aku gak paham relasinya ama dunia kerja apa ya? Pada PBL, permasalahan harus real dan dekat dengan dunia mereka sehingga kreativitas pengajar sangat diperlukan dalam metode ini. Kemampuan pemecahan masalah dalam metode PBL akan dapat diduplikasikan pada dunia nyata sehingga kemampuan mereka menjadi terasah.

Setelah mendapat insight untuk “mencoba” menerapkan konsep problem solving, promotor saya pun memberikan tips, ketika ingin menerapkan konsep problem based learning (PBL), seorang pengajar harus sudah terbiasa dengan menerapkan active learning terlebih dahulu. Karena tidak semua metode PBL berhasil, salah satunya dosen tidak pernah sekalipun mengajar secara active learning. Jika dosen belum pernah menerapkan AL sekali dan langsung mencoba PBL, maka dapat meningkatkan kemungkinan “learning trauma” yang dirasakan oleh mahasiswa. Kok gabut bener dosennya, gw bingung gak ada panduan eh tiba2 suruh ngerjain aja, jadi gimana ya memahaminya..aku jadi setres belajar makul ini.. nah hal tersebut dapat terjadi jika konsep AL pun belum dipraktekan, mereka akan trauma belajar dikelas. Beliau  pun menyarankan untuk dilakukan secara perlahan terlebih dahulu minimal mereka mendapatkan “nuansa” PBL. Saya pun manggut-manggut mendengarkan penjelasan ini karena inilah mungkin jawaban yang saya cari selama ini heheheh…ternyata setelah refleksi diri, saya lebih banyak “exercise solving” ke mahasiswa. Problem yang saya bawakan pada mahasiswa tidak membuat mereka berselera untuk mencari solusinya karena mereka kurang memahaminya. Promotor saya pun merekomendasikan untuk membawa case yang sederhana namun dekat dengan dunia mereka. Kebetulan saya mengajar mata kuliah manajemen proyek, saya akan coba membawa 3 contoh permasalahan dan kamu bisa memahami mana yang kira2 paling “memungkinkan” untuk dikenalkan ke siswa:

Problem 1.

“Proyek ABC memiliki 10 aktivitas dengan predesesor dibawah ini. Tentukan durasi dan lintasan kritisnya?”

KodeAktivitasPredesesorDurasi (week)
ACDefinisi aktivitas1
ADMenggali kebutuhan userAC2
DFMembuat prototypeAD3
FGMengembangan mock upDF4
EFTestingFG, AD1
RTBASTEF1

Problem 2.

Anda diminta menjadi seorang project manager untuk kegiatan hiking ke Gunung singa di Soreang dengan membawa 40 mahasiswa yang baru tergabung dalam himpunan selama 2 hari dengan dilanjut mendirikan tenda untuk menginap selama sehari. Untuk menuju puncak membutuhkan waktu 1-1,5 jam. Beberapa catatan penting yang perlu di masukan kedalam perencanaan adalah, logistik seperti tenda, makanan, minuman, obat-obatan, transportasi menuju tempat hiking. Mengetes kesehatan para peserta juga perlu dilakukan oleh karena itu perlu bekerja sama dengan pihak kesehatan kampus. Saat ini anda disuruh untuk membuat rencana aktivtias persiapan hingga pelaksaaan yang akan dilakukan pada liburan semester ganjil. Pembina himpunan juga meminta anda untuk mempresentasikan aktivtias persiapan dan durasi yang dibutuhkan untuk acara tersebut.

Problem 3

Anda dinikahkan oleh pasangan yang anda idam-idamkan selama ini. Anda diminta untuk membuat jadwal dan menguraikan aktivtias-aktivtias yang diperlukan dari prosesi lamaran hingga prosesi resepsi. Konsep pernikahan minimalis namun terasa hidmat dengan suasana outdoor. Jumlah tamu yang hadir saat lamaran di batasi hanya 20 orang, namun untuk akad dan resepsi dibatasi hingga 150 orang saja. Buatlah daftar aktivtias dan durasi masing-masing aktivtias sehingga memudahkan dalam proses perhitungan biaya untuk pernikahan tersebut.

ketiga problem diatas sama-sama bertujuan untuk memahami “durasi proyek” namun case yang dekat dan mudah terbayang oleh mereka mungkin case nomor 2 dan 3. Apalagi nomor 3 saya yakin mereka akan mesem-mesem sendiri sambil halu. PBL ini memang lebih cocok dikerjakan secara kelompok walaupun individu juga sah sah saja. Namun jika dilakukan berkelompok, mereka akan belajar untuk memahami sudut pandang berbeda.

Boleh gak sih kita memberikan tipe-tipe problem untuk exercise solving? ya sebenarnya sah-sah saja namun untuk porsinya tentu harus lebih banyak tipe soal problem solving jika ingin mencoba-coba teknik PBL untuk pemula. Lain kali saya akan bahas PBL lebih lengkap ya.. untuk kali ini saya coba ulas beberapa tools yang digunakan untuk AL terlebih dahulu.

Secara singkat, selama online berlangsung hingga akhirnya metode hybrid pada saat zaman corona, ada beberapa tools yang saya gunakan khususnya agar engagement mereka lebih baik saat kuliah online:

  1. Paddlet

Paddlet (https://padlet.com/) situs ini cukup powerful namun fiturnya dibatasi hanya 5 kali saja kalau mau versi free. Jika ingin menggunakan di kelas yang berbeda maka fitur yang sudah dibuat dapat dihapus terlebih dahulu. Kamu bisa gunakan Padlet untuk meminta mahasiswa menuliskan apa yang dia pahami dan mahasiwa lain /dosen bisa melihat pernyataan dan memberikan tanggapan berupa like. Padlet membantu dosen dalam mengetahui seberapa paham mereka terhadap materi tertentu dan menjadi wadah untuk bertukar pendapat secara online. Fitur padlet diantaranya mahasiswa bisa memberikan lokasi geografis dan semua peserta kuliah dapat melihat lokasinya satu sama lain. Kamu bisa gunakan fitur tersebut saat permulaan kuliah untuk saling mengenal satu sama lain. Fitur lainnya adalah membuat tahapan atau flow secara visual, fitur tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan-tahapan khususnya materi tertentu agar di sajikan lebih baik dan interaktif.

2. Miro

Miro (https://miro.com/), situs ini sangat bagus untuk berkolaborasi, prinsipnya hampir sama dengan padlet dimana kita dapat saling share pendapat dan mereka bisa memberikan tanggapan, hanya saja kadang aplikasi ini agak lama loadingnya jika usernya banyak. Namun cukup bagus jika ingin menerapkan pembelajaran secara kolaboratif secara interaktif di kelas.

3. Mentimeter

Mentimeter (https://www.mentimeter.com/) merupakan situs yang sangat bagus untuk “refreshing” seperti membuat polling, memilih sesuatu secara cepat, menuliskan gagasan/ide. Kamu bisa gunakan mentimeter untuk membuat sesi ice breaking, seperti mengetahui suasana hati saat belajar sebagai contoh.. apa yang dipikiran ketika mendengar.. sehingga kita bisa mengetahui jawaban-jawaban lain yang kadang agak out of the box juga. Jawaban yang nyeleneh biasanya membuat kelas agak lebih hidup 😛

4. Kahoot

Kahoot.com merupakan platform yang sangat lengkap untuk membuat siswa aktif hanya saja agak terbatas usernya jika ingin berpartisipasi dalam suatu aktivitas. Fitur yang ada dalam Kahoot diantaranya quiz maker yang dikemas secara menarik. Visual situs menyerupai games dan terdapat soundeffect yang membuat mahasiswa tidak terlalu kaku dalam menajwabnya. Diakhir sesi kita dapat mengethui siapa yang menjadi pemenangnya. Sebenarnya fitur kahoot banyak tapi saya lebih banyak menggunakan kahoot untuk quiz ice breaking seperti giveaway nilai tambahan jika berhasil menjadi top 3 high score. Intinya mereka dibuat masuk ke dalam suatu permainan atmosfirnya.

5. Crosswordlabs

Crosswordlabs (https://crosswordlabs.com/) merupakan generator untuk membuat teka teki silang. Kamu bisa gunakan situs ini untuk mengetahui pemahaman siswa dengan cara yang unik karena seperti permainan. Pernah nonton Teka Teki Cak Lontong yang dimana TTS di jawab secara berkelompok? Nah kamu bisa banget terapkan di kelas, minta mereka untuk menjawab tts dalam durasi waktu tertentu dan jawabannya ada pada materi/slide yang telah di berikan. Setelah itu mereka masuk ke breakout room masing-masing dan mulai menuliskan jawaban. Seorang expert pendidikan menyarankan jika dalam membuat kelompok, minimal 2 orang dan maksimal 4. Nah, tts ini bisa dibuat ice breaking juga misal soal dan jawaban dibuat seperti Cak Lontong yang kadang bikin emosi menjawabnya 😀

6. Gathertown

Gathertown (https://www.gather.town/) merupakan platfom untuk virtual office yang dikemas secara gemesh banget karena seperti games RPG. Ada yang tahu permainan Harvest moon di PS1 atau PS2 gak? Nah tampilanya seperti itu. Saya gunakan platform tersebut untuk tugas besar mata kuliah Perancangan Tata Letak Fasilitas. Lho kok bisa? Saya meminta mahasiswa secara berkelompok misalnya membuat desain ruangan kantor dengan persyaratan tertentu seperti biayanya tidak melebihi Rp 200.000.000, mampu menampung 50 pegawai,  dan mereka diminta untuk  menghitung jumlah meja, kursi, toilet, fasiltias lainnya yang berhubungan dengan bisnis kantor tersebut. Asumsi saya karena mereka familiar dengan suasana permainan sehingga tugas besarnya tidak jauh dari nuansa game. Saya ada sedikit dokumentasinya ketika mereka presentasi melalui zoom saat itu disini

link: https://www.tiktok.com/@devipratami21/video/7049700678842731802?is_from_webapp=1&sender_device=pc&web_id=7163509405257369089

Nah ketika kita sudah terbiasa untuk active learning, kita bisa naik level ke metode selanjutnya seperti Team Based learning, Coopertive Problem Based Learning, Project based learning. Kita juga bisa memberikan kasus-kasus real kepada mereka dimana mereka di beri kesempatan untuk memahami permasalahanya tersebut terlebih dahulu atau individual learning. Karena kadang-kadang mereka pun tidak memahami masalahnya, nah ini kan yang berbahaya, bagaimana mereka mengetahui solusinya jika dia memahami masalahpun tidak tahu. Kita lakukan secara bertahan dan pelan-pelan. Sebagai pengajar mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus beradaptasi dengan teknologi. Apalagi dengan generasi anak sekarang yang sudah terpapar gadget mau tidak mau justru kita gunakan gadget sebagai wadah mereka untuk belajar. Kira-kira ada lagi tidak situs yang bagus untuk active learning? Silakan tulis di komen yaa.. selamat belajar wahai pendidik!, Menjadi dosen generasi Z jangan sampai membuat kita berhenti untuk melek teknologi tapi membuat kita lebih semangat belajar mereka karena mereka lebih jago penggunakan teknologinya 😀

“Ayo #RaihMasaDepanmu bersama Telkom University!”

referensi:

Jonassen, D., Strobel, J. and Lee, C.B. (2006), Everyday Problem Solving in Engineering: Lessons for Engineering Educators. Journal of Engineering Education, 95: 139-151. https://doi.org/10.1002/j.2168-9830.2006.tb00885.x

Helmi SA, Mohd-Yusof K, Abu MS, Mohammad S. (2011). An instrument to assess students’ engineering problem solving ability in cooperative problem-based learning (CPBL), paper AC 2011-2720, ASEE Annual Conference, Vancouver, Canada, June 2011.

Photo by Marvin Meyer on Unsplash


Leave a Reply