Resensi Buku Soedirman


Soedirman
Seorang Panglima, Seorang Martir
“Kamu bukanlah tentara sewaan tetapi prajurit yang berideologi, sanggup berjuang menempuh maut untuk kelahiran Tanah Airmu.” – Jenderal Soedirman

Judul Buku : Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir
Penulis : Tim Buku TEMPO
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Genre : Sejarah Indonesia
Cetakan : Cetakan 1, Desember 2012
Tebal : 176 halaman
Nomor ISBN : 9789799105240
Harga Buku : Rp. 45.000 (Dapat diakses secara gratis di iJakarta)

Soedirman adalah seorang perwira besar pada zaman Revolusi Nasional Indonesia. Kepemimpinannya sebagai Panglima Besar Tentara Nasional pertama di Indonesia, telah membuat sosoknya dihormati dan dikagumi oleh masyarakat Indonesia. Sejak kecil, Jenderal Soedirman sudah dikenal sebagai sosok yang mampu memimpin dan berperan aktif dalam organisasi disekolahnya. Sebagai Panglima Tentara Besar di Indonesia, banyak sekali pujian yang datang karena strategi perang bapak Jenderal Soedirman. Keberadaannya bagaikan fondasi utama sebuah bangunan kokoh berdiri dan sangat konsisten melindungi negaranya dari terjangan berbagai ancaman. Kepemimpinannya dalam perang gerilya juga begitu dominan dan sarat makna bagi sejarah Indonesia, tak urung banyak penikmat buku sejarah yang menikmati cerita Soedirman ini. Strategi perang gerilya yang dilakukan oleh Soedirman masih digunakan sampai sekarang sebagai suatu strategi menyerang diam-diam saat wilayah sudah terkepung terkepung lawan, yang pada saat itu adalah Yogyakarta.

Didalam buku biografi ini, diceritakan perjuangan Soedirman sejak kecil sampai ia menjadi Perwira Tentara. Sejak kecil kita masih kecil, nilai perjuangan seorang Jenderal Soedirman sudah diceritakan, diajarkan dan dijadikan teladan. Secara turun temurun, generasi demi generasi, tidak pernah absen mendapatkan pelajaran sejarah mengenai beliau, seorang Jenderal muda yang sakit namun tidak pantang menyerah dalam mempertahankan Indonesia. Jenderal Soedirman meninggal dalam usia 34 tahun, usia yang masih sangat muda. Beliau mengidap penyakit TBC (tuberculosis) sejak lama dan mengharuskannya untuk bepergian bersama dokter pribadinya kemanapun, bahkan saat perang gerilya dari Selatan menuju ke Kretek. Perjuangan Jenderal Soedirman sebagai Jenderal termuda dalam sejarah Indonesia telah mengahsilkan banyak sekali penghargaan, diantaranya Bintang Sakti, Bintang Gerilya, Bintang Mahaputra Adipurna, Bintang Mahaputra Pratama, Bintang Republik Indonesia Adipurna, dan Bintang Republik Indonesia Adipradana. Beliau ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden no. 314 tahun 1964 dan nama Soedirman diabadikan sebagai nama Jalan Protokol atau Utama di setiap Provinsi di Indonesia.

Sebagai masyarakat Indonesia, tak banyak dari kita yang sadar bahwa penokohan Soedirman
yang begitu dominan dalam pemahaman sejarah kita merupakan konstruksi orde baru. Hal inilah yang
akhirnya membuat Tim Buku TEMPO memilih Soedirman sebagai tokoh kedua yang ditulis sebagai
tokoh biografi perwira tanah air ini. Secara umum, TEMPO adalah sebuah media jurnalisme investigasi
yang tajam dan akurat. Majalah mingguan ini pertama kali terbit pada tahun 1971 dan masih produktif
sampai sekarang. Tulisan dalam majalah TEMPO merupakan hasil investigasi para jurnalis
berpengalaman. Banyak kritikan tajam dan pedas yang ditulis oleh Tim TEMPO untuk Pemerintah dan
kaum elit. TEMPO sempat di cekal pada masa Orde Baru karena dianggap mengkritik Pemerintah
namun akhirnya diperbolehkan untuk terbit kembali dengan perjanjian dengan Ali Moertop sebagai
Mentri Penerangan atau Departemen pengontrol pers pada saat itu. Kredibilitas TEMPO sudah tidak
perlu dipertanyakan lagi, intuisi dan kebenaran beritanya dapat dibuktikan dengan hasil investigasi
dan penelitian yang dilakukan Tim TEMPO. Hal inilah yang akhirnya menambah nilai dari Buku
Soedirman sebagai buku Biografi Tokoh yang dapat dipercaya informasinya.

Bagai membaca buku novel, cerita sejarah Jenderal Soedirman di buku ini diceritakan melalui
penokohan yang kuat dimana pembaca akan fokus pada tokoh Soedirman. Buku ini juga dilengkapi
dengan berbagai foto yang berhasil memvisualisasikan kejadian yang berlangsung saat itu. Dibalik
perubahan sosial, keputusan politik dan perjalanan jatuh-bangunnya bangsa ini, ada tokoh-tokoh yang
ikut andil didalamnya. Dengan memahami cerita dan sisi gelap Soedirman, diharapkan masyarakat
dapat memahami konflik yang terjadi kala itu. Keberadaan buku TB Simatupang: Laporan dari Banaran
dan buku A.H. Nasution: Memenuhi Panggilan Tugas merupakan sumber penggalian bahan yang
otentik dalam pembuatan buku Soedirman. Dengan memahami buku ini, pembaca secara tidak
langsung juga ikut membaca sejarah para Perwira Tentara yang lain. Kisah Soedirman yang diceritakan
dalam buku ini sangat berwarna dan membuat pembaca mengerti sejarah militer Indonesia melalui
perjalanan Soedirman yang karismatik. Keberhasilan beliau dalam menyelesaikan masalah dimasamasa
krusial juga menjadi daya tarik tersendiri dari buku ini.

Cerita Soedirman dalam buku ini diceritakan dalam satu garis waktu, dimulai dari bagian I yaitu “Bapak Tentara dari Banyumas” yang menceritakan Soedirman kecil seorang anak yatim yang aktif dalam organisasi sekolah, menjadi guru dan akhirnya menjadi tentara. Dalam 34 tahun, banyak sekali pergolakan yang terjadi di negeri ini dan bagian II menceritakan sepak-terjang Soedirman dimulai dari terpilihnya beliau sampai strategi perang gerilyanya saat perang. Lalu, cerita ini dilanjutkan melalui latar belakangnya dalam Militer, bagian III, penghargaan yang diraihnya, kisahnya seorang mortir dan keikutsertaannya dalam PETA. Bagian IV menceritakan andil seorang Soedirman dalam politik, yang mana beliau dikenal sebagai sosok yang berani mengkritik dan mengambil keputusan berat apabila dianggap penting. Bagian terakhir narasi ini adalah saat-sat terakhir penyakit yang berhasil mengambil nyawanya dan penghormatan untuk Jenderal Besar Indonesia. Bagian akhir buku ini ditutup dengan kolom opini yang disusun redaksi TEMPO tentang Soedirman, sebagai Panglima diantara Panglima, pemaparan keberhasilan Soedirman membentuk suatu budaya TNI yang tunduk akan supremasi sipil dan demokrasi. Opini lain juga disampaikan oleh Asvi Warman Adam, seorang sejarawan LIPI tentang pihak-pihak yang memanfaatkan hubungan keluarga atau hubungan milter dengan Soedirman untuk pencitraan publik, suatu opini yang kontroversial namun sarat akan analisis sejarah didalamnya. Opini terakhir ditulis oleh Agus Widjojo, Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) yang menjelaskan refleksi kesejarahan mengenai Soedirman yang patuh namun berani mengambil tindakan berbahaya sebagai alat negara, bukan alat kekuasaan. Agus Widjojo bersyukur mempunyai seorang panglima besar Soedirman dalam masa pembentukan TNI, rasa syukur ini terlihat dalam tulisannya.

Secara keseluruhan, buku ini memiliki gaya bahasa yang cenderung formal dan argumentatif. Seperti membaca buku sejarah tinggi dengan konflik yang beragam. Banyaknya sumber informasi dan referensi dalam penulisan buku ini sedikit membingungkan dan terkesan tidak konsisten. Karena banyaknya referensi, ceritanya menjadi terksesan lompat-lompat dari satu konflik ke konflik lain. Untungnya, dengan struktur penempatan cerita, waktu dan penokohan yang baik, nilai terlalu formalnya dan masalah konsistensi jalan ceritanya dapat tertutupi. Biasanya, membaca buku biografi sejarah sangat melelahkan dan cukup membingungkan. Namun, buku biografi Soedirman ini tidak demikian. Karena banyak sekali intrik dan konflik yang berkaitan dan membuat kita mengangguk-anggukan kepala secara tidak sadar karena mulai menikmati dan memahami ceritanya. Kita akan menyadari bahwa konflik yang satu berkaitan dengan konflik yang lain. Kolom opini pada bagian akhir buku ini juga menarik dan cukup kontroversial, melibatkan tokoh-tokoh politik zaman ini. Dari buku ini, kita akan mengerti bahwa Jenderal Soedirman juga adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh bahkan setelah beliau wafat.


Leave a Reply